TEORI
BELAJAR BEHAVIORISTIK
Dwi Sulistiyaningsih,S.si.,MPd.
Oleh
:
Kelompok
1
Astrid
Angelia B2B018008
Dewi
Kartika B2B018017
Lia
Titania B2B018018
Fajar
Putra Pamungkas B2B018026
Evi
Fatmawati B2B018029
Tiara
Ayustina B2B018032
Ramdhan
Farid Oka .M. B2B018036
Yusril
Fudi Maskhuri .M. B2B018045
PENDIDIKAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2018
Kata
pengantar
Puji dan syukur saya panjatkan
kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas izin, rahmat dan karunia-Nya saya dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah dengan judul “Teori Belajar
Behavioristik” ini disusun dengan tujuan untuk melengkapi tugas semester
pertama untuk mata kuliah Belajar dan Pembelajaran. Melalui makalah ini, kelompok
kami berharap agar pembaca mampu mengenal lebih jauh mengenai teori belajar behavioristik.
Kami mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan makalah ini
khususnya kepada dosen belajar dan pembelajaran, yaitu Ibu Dwi Sulistyaningsih, S.Si., M.pd. yang bersedia
membimbing dan mengarahkan kelompok kami dalam penyusunan makalah ini.
Kami berharap agar
makalah yang telah kami susun ini dapat memberikan inspirasi bagi pembaca dan
penulis yang lain. Kami juga berharap agar makalah ini menjadi acuan yang baik
dan berkualitas.
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Belajar merupakan kegiatan individu
memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan perilaku menuju ke arah yang lebih
baik melalui proses interaktif. Teori belajar adalah suatu teori yang di
dalamnya terdapat tata cara pengaplikasian kegiatan belajar mengajar antara
guru dan siswa, perancangan metode pembelajaran yang akan dilaksanakan di kelas
maupun di luar kelas, seperti salah satunya adalah teori belajar behavioristik.
Teori belajar behavioristik merupakan teori yang dianut oleh beberapa ahli
seperti Gage dan Berliner serta beberapa ilmuwan lain ntara lain adalah
Thorndike, Watson, Hull, Guthrie, dan Skinner.
Teori ini kemudian berkembang
menjadi sebuah aliran psikologi belajar yang mempengaruhi proses belajar dan
pembelajaran yang biasa disebut dengan aliran behavioristik. Behavioristik
merupakan akibat dari adanya interaksi stimulus dan respon. Aliran ini menekankan
pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Perilaku yang
dimaksud adalah perubahan perilaku yang akan mempengaruhi psikologi siswa.
Munculnya perilaku akan
semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Tidak hanya cara berpikir dan hasil bagus saja yang diperhatikan namun secara
mental juga harus dibangun. Dalam pengaplikasiannya teori ini dapat diamati
melalui proses pengukuran pada stimulus dan respon bukan pada proses yang
terjadi antara stimulus dan respon. Pengukuran sangat penting dilakukan untuk
mengetahui terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Beberapa
permasalahan dalam kajian makalah ini diantaranya:
1. Apa
yang dimaksud dengan teori Behavioristik ?
2. Apa
pendapat para ahli mengenai teori Behavioristik?
3. Apa
percobaan pada teori Behavioristik?
4. Bagaimana
aplikasi dari teori Behavioristik?
1.3
Tujuan Penulisan
1. Mengetahui
pengertian teori Behavioristik
2. Mengetahui berbagai
pendapat para ahli mengenai teori Behavioristik
3. Mengetahui percobaan
pada teori Behavioristik
4. Mengetahui aplikasi
dari teori Behavioristik
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Teori Belajar
Behavioristik
Teori belajar
behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner
tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini lalu
berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah
pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai
aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang
tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik
dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar
sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan
metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat
bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Belajar
merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000).
Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan
perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang
berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang
diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan
pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang
terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena
tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus
dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa
yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini
mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk
melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang
dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan
(reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka
respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan
(negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat. Beberapa prinsip dalam
teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2)
Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4)
Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The
Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di
antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut
akan dibahas karya-karya para tokoh
aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran.
2.2 Tokoh Teori Behavioristik
2.2.1. Teori Ivan Petrovich Pavlov
A. Definisi
Teori Classical Conditioning
Classical conditioning
(pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses yang ditemukan Pavlov
melalui percobaanya terhadap anjing, di mana perangsang asli dan netral
dipasang dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang, sehingga memunculkan
reaksi yang dinginkan (Sugihartono. dkk, 2007).
Kata clasical yang
mengawali nama teori ini semata-mata dipakai untuk menghargai karya Pavlov yang
dianggap paling dahulu dibidang conditioning (upaya pengkondisian) dan untuk
membedakannya dari teori conditioning lainnya (Henry Gleitmen, 1986). Secara
sederhana pengkondisian klasik merujuk pada sejumlah prosedur pelatihan dimana
satu stimulus/ rangsangan muncul untuk menggantikan stimulus lainnya dalam
mengembangkan suatu respon, bahwa prosedur ini disebut klasik karena prioritas
historisnya seperti dikembangkan oleh Pavlov (Rita L. Atkinson, et.al,
1983:299).
B. Komponen
Dasar dan Eksperimen Teori Clasiccal Conditioning
Ada empat komponen
dasar yang membangun Teori Clasiccal Conditioning yang di lakukan oleh Ivan Pavlov.
1. US (Unconditioned Stimulus): stimulus asli atau netral: Stimulus
tidak dikondisikan yaitu stimulus yang langsung menimbulkan respon, misalnya
daging dapat merangsang anjing untuk mengeluarkan air liur.
2. UR (Unconditioned Respons): disebut perilaku responden (respondent
behaviour) respon tak bersyarat, yaitu respon yang muncul dengan hadirnya US,
yaitu air liur anjing keluar karena anjing melihat daging.
3. CS (Conditioning Stimulus): stimulus bersyarat, yaitu stimulus yang
tidak dapat langsung menimbulkan respon. Agar dapat menimbulkan
respon perlu dipasangkan dengan US secara terus-menerus agar menimbulkan
respon. Misalnya bunyi bel akan menyebabkan anjing mengeluarkan air liur jika
selalu dipasangkan dengan daging.
4. CR (Conditioning Respons): respons bersyarat, yaitu rerspon yang
muncul dengan hadirnya CS, Misalnya: air liur anjing keluar karena anjing
mendengar bel.
Masing-masing komponen di atas bisa diidentifikasi
dari percobaan Pavlov terhadap anjing. Awalnya pavlov meletakkan daging
dihadapan anjing. Seketika anjing mengeluarkan air liurnya. Dalam konteks
komponen kondisioning, daging tadi adalah unconditioned stimulus (UCS) dan
keluarnya air liur karena daging itu adalah unconditioned response (UCR).
Selanjutnya, Pavlov menghadirkan stimulus baru berupa bel garpu beberapa saat
sebelum ia memperlihatkan daging pada anjing. Hal ini dilakukan berulang-ulang,
hingga pada akhirnya, hanya dengan menyalakan lampu tanpa diikuti dengan memperlihatkan
daging, anjing itu mengeluarkan air liurnya. Bunyi bel sebelum dipasangkan
dengan daging disebut neutral stimulus, tapi setelah berpasangan dengan daging
disebut conditioned stimulus. Sedangkan keluarnya air liur oleh CS disebut
conditioned response. Proses untuk membuat anjing memperoleh CS disebut
conditioning.
Proses penggabungan
yang dilakukan oleh Pavlov dengan ketiga unsur tersebut adalah melibatkan
daging (sebagai unconditioned stimulus), air liur (sebagai unconditioned
response pada anjing), dan suara (sebagai conditioned stimulus). Secara normal,
suara bel tidak akan menghasilkan air liur. Namun ketika suara dipasangkan
dengan daging, suara tersebut dapat mempengaruhi anjing mengeluarkan air liur.
Perilaku konstan secara beberapa lama waktu, maka ketika suara dibunyikan
walaupun tanpa kehadiran seketika daging, akan dapat membuat anjing
mengeluarkan air liur pada anjing pada beberapa waktu.
Berikut adalah tahap-tahap eksperimen dan penjelasan dari gambar di
atas:
Gambar 1:
Dimana anjing, bila diberikan sebuah makanan (UCS) maka
secara otonom anjing akan mengeluarkan air liur (UCR).
Gambar 2:
Jika anjing dibunyikan sebuah bel (misalnya dentingan garpu), tidak
merespon atau mengeluarkan air liur.
Gambar
3:
Dalam eksperimen ini anjing diberikan sebuah makanan (UCS)
setelah diberikan
bunyi bel (CS) terlebih dahulu, sehingga anjing akan mengeluarkan air liur (UCR) akibat pemberian
makanan.
Gambar 4:
Setelah perlakukan ini dilakukan secara berulang-ulang, maka ketika anjing
mendengar bunyi bel (CS) tanpa diberikan makanan, secara otonom anjing akan memberikan respon
berupa keluarnya air liur dari mulutnya (CR).
C.
Aplikasi Teori Pavlov dalam Pembelajaran
Aplikasi teori Pavlov terhadap pembelajaran siswa
adalah: mementingkan pengaruh lingkungan, mementingkan bagian-bagian,
mementingkan bagian reaksi, mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar
melalui prosedur stimulus respon, mementingkan peranan kemampuan yang sudah
terbentuk sebelumnya, mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latiahan dan
pengulangan, hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang
diinginkan.
Sebagai konsekuensi teori ini, para guru yang
menggunakan pradigma Pavlov akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang
sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan
secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberi ceramah tetapi instruksi
singkat yang diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupaun melalui
simulasi. Bahan pelajaran disususn secara hierarki dari yang sederhana sampai
pada yang kompleks.
Metode pavlov ini sangat cocok untuk memperoleh
kamampuan yang membutuhkan paktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur
sperti: kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagianya.
Contohnya: perckapan bahasa aisng, mengetik, menari, menggunakan komputer,
berenang, olahraaga dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk
melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominasi peran orang dewasa, suka
mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk
penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.
2.2.2
Teori Thorndike
A. Definisi Teori
Behavioristik Menurut Thorndike
Menurut Thorndike (1911), salah seorang pendiri
aliran tingkah laku, teori Behavioristik dikaitkan dengan belajar
adalah proses interaksi antara stimulus yang
berupa pikiran, perasaan, atau gerakan) dan respons (yang juga berupa pikiran, erasaan, dan gerakan). Jelasnya
menurut Thorndike, perubahan tingkah
laku boleh berwujud sesuatu yang konkret (dapat diamati), atau yang non-konkret (tidak bisa diamati).
Meskipun Thorndike tidak menjelaskan bagaimana cara
mengukur sebagai
tingkah laku yang non-konkret (pengukuran adalah satu hal yang menjadi obsesi semua penganut aliran
tingkah laku), tetapi teori Thorndike telah
memberikan inspirasi kepada pakar lain yang datang sesudahnya. Teori Thorndike disebut sebagai aliran
koneksionisme (connectionism).
Prosedur eksperimennya ialah membuat setiap binatang
lepas dari kurungannya
sampai ketempat makanan. Dalam hal ini apabila binatang terkurung maka binatang itu sering
melakukan bermacam-macam kelakuan, seperti
menggigit, menggosokkan badannya ke sisi-sisi kotak, dan cepat atau lambat binatang itu tersandung pada
palang sehingga kotak terbuka dan binatang
itu akan lepas ke tempat makanan.
B. Percobaan
Teori Thorndike
Percobaan Thorndike yang terkenal
dengan binatang coba kucing yang telah dilaparkan dan diletakkan di dalam
sangkar yang tertutup dan pintunya dapat dibuka secara otomatis apabila kenop
yang terletak di dalam sangkar tersebut tersentuh. Percobaan tersebut
menghasilkan teori “trial and error” atau “selecting and conecting”,
yaitu bahwa belajar itu terjadi dengan cara mencoba-coba dan membuat salah.
Dalam melaksanakan coba-coba ini, kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan
perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai hasil.
Setiap respon menimbulkan stimulus
yang baru, selanjutnya stimulus baru ini akan menimbulkan response lagi,
demikian selanjutnya, sehingga dapat digambarkan sebagai berikut:
S → R → S1 → R1 → dst
Dalam
percobaan tersebut apabila di luar sangkar diletakkan makanan, maka kucing
berusaha untuk mencapainya dengan cara meloncat-loncat kian kemari. Dengan
tidak tersengaja kucing telah menyentuh kenop, maka terbukalah pintu sangkar
tersebut, dan kucing segera lari ke tempat makan. Percobaan ini diulangi untuk
beberapa kali, dan setelah kurang lebih 10 sampai dengan 12 kali, kucing baru
dapat dengan sengaja menyentuh kenop tersebut apabila di luar diletakkan makanan.
Dari percobaan ini Thorndike
menemukan hukum-hukum belajar sebagai berikut :
Hukum law
of readiness (kesiapan), yaitu semakin siap suatu organisme
memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut
akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.
Prinsip
pertama teori koneksionisme, belajar merupakan suatu kegiatan membentuk
asosiasi (connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan
bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan
menggambar, maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini
dilaksanakan, ia akan merasa puas dan belajar dengan menggambar akan
menghasilkan prestasi yang memuaskan.
a. Masalah pertama, hukum law of
readiness adalah jika kecenderungan bertindak dan orang melakukannya, maka ia akan merasa puas. Akibatnya,
ia tak akan melakukan tindakan lain.
b.
Masalah kedua, jika ada
kecenderungan bertindak, tetapi ia tidak melakukannya, maka timbul lah rasa
ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau
meniadakan ketidakpuasannya.
c. Masalah ketiga, adalah bila tidak ada kecenderungan
bertindak padahal ia melakukannya, maka timbul lah ketidakpuasan. Akibatnya, ia
akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.
Hukum law of exercise (latihan),
yaitu semakin sering tingkah laku diulang/dilatih (digunakan), maka asosiasi
tersebut akan semakin kuat. Prinsip law of exercise adalah koneksi
antara kondisi (yang merupakan perangsang) dengan tindakan akan menjadi lebih
kuat karena latihan-latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya
tidak dilanjutkan atau dihentikan.
Hukum law of effect (akibat),
yaitu hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan
dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini
menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan.
Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan
lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak
menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi.
C. Aplikasi
Teori Thorndike
Aplikasi
teori Thorndike sebagai salah satu aliran psikologi tingkah laku dalam
pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat
materi pembelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang
tersedia. Setiap pembelajaran yang berpegang pada teori belajar behavioristik
telah terstruktur rapi, dan mengarah pada bertambahnya pengetahuan pada siswa.
Penerapan yang sebaiknya dilakukan dalam pembelajaran
adalah sebagai berikut:
1.
Sebelum
memulai proses belajar mengajar, pendidik harus memastikan siswanya siap
mengikuti pembelajaran tersebut. Jadi setidaknya ada aktivitas yang dapat
menarik perhatian siswa untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar.
2.
Pembelajaran
yang diberikan sebaiknya berupa pembelajaran yang kontinu, hal ini dimaksudkan
agar materi lampau dapat tetap di ingat oleh siswa.
3.
Dalam
proses belajar, pendidik hendaknya menyampaikan materi dengan cara yang
menyenangkan, contoh dan soal latihan yang diberikan tingkat kesulitannya
bertahap, dari yang mudah sampai yang sulit. Hal ini agar siswa mampu menyerap
materi yang diberikan.
4.
Pengulangan
terhadap penyampaian materi dan latihan, dapat membantu siswa mengingat materi
terkait lebih lama.
5.
Supaya
peserta didik dapat mengikuti proses pembelajaran, proses harus bertahap dari
yang sederhana hingga yang kompleks.
6.
Peserta
didik yang telah belajar dengan baik harus segera diberi hadiah, dan yang belum
baik harus segera diperbaiki.
7.
Dalam
belajar, motivasi tidak begitu penting, karena perilaku peserta didik terutama
ditentukan oleh penghargaan eksternal dan bukan oleh intrinsic
motivation. Yang lebih penting dari ini ialah adanya respon yang benar
terhadap stimulus.
8.
Materi
yang diberikan kepada peserta didik harus ada manfaatnya untuk kehidupan anak
kelak setelah dari sekolah.
9.
Thorndike
berpendapat, bahwa cara mengajar yang baik bukanlah mengharapkan murid tahu
bahwa apa yang telah di ajarkan, tetapi guru harus tahu apa yang hendak
diajarkan. Dengan ini guru harus tahu materi apa yang harus diberikan, respon
apa yang diharapkan dan kapan harus memberi hadiah atau membetulkan respon yang
salah.
10. Tujuan pendidikan harus masih dalam
batas kemampuan belajar peserta didik dan harus terbagi dalam unit-unit
sedemikian rupa sehingga guru dapat menerapkan menurut bermacam-macam situasi.
2.2.3 Teori Clark L. Hull
A. Definisi Teori
Behavioristik Menurut Clark L. Hull
Clark L. Hull
mendasarkan teori belajarnya pada tingkah laku yang diselidiki dengan hubungan
perkuatan S-R. Metode yang digunakan merupakan metode matematika, deduktif, dan
dapat dites atau diuji. Teori dari Hull sebenarnya tidak jauh beda dengan teori
belajar lainnya. Beberapa persamaan teori belajar Hull dengan teori belajar
sebelumnya adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan
asosiasi S-R
2. Berdasarkan
cara melangsungkan hidup.
3. Berdasarkan
kebutuhan biologis dan pemenuhannya.
4. Orientasinya
kepada teori Pavlov.
Hull juga mengembangkan beberapa
definisi, antara lain:
1. Kebutuhan (Need)
Kebutuhan
merupakan keadaan organisme yang menyimpang dari kondisi biologis optimum pada
umumnya yang digunakan untuk melangsungkan hidupnya. Jika kebutuhan tersebut
timbul maka organisme akan bertindak untuk memenuhi kebutuhannya, hal tersebut
dinamakan mereduksi kebutuhan dan teori belajarnya disebut teori reduksi
kebutuhan atau need reduction theory.
2. Dorongan (Drive)
Kondisi
kekosongan ganda organisme sehingga mendorong untuk melakukan sesuatu. Istilah
lain dari dorongan adalah motiv. Adakalanya seseorang merasa ingin melakukan
sesuatu namun orang tersebut tidak memiliki dorongan untuk melakukannya.
3. Perkuatan (Reinforcement)
Sesuatu
yang dapat memperkuat hubungan S-R, dan respon terhadap stimulus tersebut dapat
mengurangi ketegangan kebutuhan. Perkuatan biasanya berupa hadiah.
Kebutuhan
yang timbul akan menyebabkan terbentuknya suatu perilaku yang akan mereduksi
kebutuhan secara berangsur-angsur yang dapat dipelajari responnya. Stimulus
yang dapat menimbulkan respon adalah stimulus yang mengenai saraf sensoris atau
reseptor kemudian menimbulkan impuls yang masuk afferent, yaitu saraf gerak dan
dapat mengaktifkan otot-otot maskuler.
S
dengan huruf besar merupakan stimulus dan obyeknya. S dengan huruf kecil
merupakan stimulus dalam organisme, stimulus yang sudah berupa impuls. Impuls
merupakan perangsang atau stimulus yang sudah ada dan bekerja dalam saraf.
Dalam teori kali ini yang akan kita pakai s dengan huruf besar.
Hull
membedakan tendensi untuk timbulnya R dan r. R untuk respon yang nampak,
faktual, dan r adalah predisposisi respon yang masih dalam aktivitas saraf. r
merupakan respon yang masih ada didalam organisme, jadi tidak nampak, tapi
mempengaruhi tingkah laku. Hull mengganti S-R menjadi SHR, dimana H merupakan
habit.
Hull
membedakan antara learning dengan performance. Tindakan dipengaruhi oleh banyak
hal, tetapi belajar hanya dipengaruhi oleh faktor jumlah waktu, respon khusus
terjadi karena kontinu dengan perkuatan. Menurut Hull tingkah laku bersumber
pada kebutuhan yang merupakan tuntutan hidup.
B. Percobaan Teori Clark Hull
Hull
mengajukan enam belas postulat dalam cakupan enam hal yakni sebagai berikut:
1. Tanda-tanda luar yang mendorong atau
membimbing tingkah laku dan representasi neuralnya atau saraf.
Postulat 1: Impuls saraf afferent
dan efek lanjutannya.
Jika
suatu perangsang mengenai reseptor, maka timbullah impuls saraf afferent dengan
cepat mencapai puncak intensitasnya dan kemudian berkurang secara
berangsur-angsur. Sesaat saraf afferent berisi impuls dan diteruskan kepada
saraf sentral dalam beberapa detik dan seterusnya timbul respon. S-R
diubah menjadi S-s-R atau S-s-r-R. Simbol s adalah impuls
atau stimulus trace dalam saraf sensoris, dan simbol r adalah impuls respon
yang masih dalam saraf fferent.
Postulat 2: (ŝ)Interaksi
dorongan sensoris (indrawi)
Impuls
dalam suatu saraf afferent dapat diteruskan ke satu atau lebih saraf afferent
lainnya. R timbul tidak hanya karena satu stimulus, tetapi lebih dari satu S
yang lalu terjadi kombinasi berbagai stimulus. Rumusnya akan berubah menjadi.
|
|
2. Respon terhadap kebutuhan, hadiah
dan kekuatan kebiasaan.
Postulat 3: Respon-respon bawaan
terhadap kebutuhan (tingkah laku yang tidak dipelajari)
Sejak
lahir organisme mempunyai hierarki respon penentu kebutuhannya yang timbul
karena ada rangsangan-rangsangan dan dorongan. Respon terhadap kebutuhan
tertentu bukan merupakan respon pilihan secara random, tetapi respon yang
memang ditentukan oleh kebutuhannya, misalnya mata kena debu maka mata berkedip
dan keluar air mata.
Postulat 4: Hadiah dan kekuatan
kebiasaan; kontiguitas dan Reduksi Dorongan sebagai kondisi-kondisi untuk
belajar.
Kekuatan
kebiasaan akan bertambah jika kegiatan-kegiatan reseptor dan efektor terjadi
dalam persamaan waktu yang menyebabkan hubungan kontiguitif dengan hadiah
pertama dan hadiah kedua. Simbol kekuatan kebiasaan adalah SHR.
3.
Stimulus pengganti (ekuaivalen)
Postulat 5: Generalisasi stimulus, (penyamarataan)
Kekuatan
kebiasaan yang efektif timbul karena adanya kemiripan sebuah stimulus dengan
stimulus yang digunakan dalam training, hal ini juga mengindikasikan bahwa
pengalaman sebelumnya akan mempengaruhi proses belajar yang sekarang; artinya
proses belajar yang pernah terjadi dalam kondisi yang sama akan ditransfer ke
situasi belajar yang baru. Hull menyebut proses ini sebagai (kekuatan kebiasaan
yang digeneralisasikan SĤR).
4.
Dorongan-dorongan sebagai akitivator respon.
Postulat 6: Stimulus dorongan
Defesiensi biologi dalam organisme akan menghasilkan Drive
(D), dan setiap dorongan diasosiasikan dengan stimuli spesifik.
Contohnya adanya raasa perut lapar yang mengiringi dorongan lapar, dan mulut
kering, bibir kering, tenggorokan kering yang mengiring dorongan haus. Adanya
stimuli dorongan spesifik memungkinkan kita untuk mengajari hewan agar
berprilaku tertentu didalama keadaan suatu dorongan dan berptilaku lain dalam
keadaan dorongan lain. Misalnya hewan bias diajarkan berbelok ke kanan dalam
jalam berbentuk T apabila ia lapar dan berbelok kekiri bila ia haus.
Postulat 7: Potensi reaksi yang
ditimbulkan oleh kebiasaan dan dorongan.
Potensi
reaksi adalah hasil dari adanya kekuatan kebiasaan (SHR)
dan dorongan (D) agar respon yang dipelajari terjadi, SHR
harus diaktifkan oleh D. dorongan tidak mengarahkan prilaku; ia hanya
membangkitkannya dan mengintensifkannya. Jadi seekor tikus tidak akan menekan
tuas makanan dalam kotak skinner untuk makan, ia hanya akan menekan tuas itu
saat ia lapar saja. Komponen dasar dari teori Hull ini dapa dikombinasikan
dalam rumus:
Potensi
reaksi = SER = SHR x D
Jadi,
potensi reaksi adalah fungsi dari seberapa sering respons diperkuat dalam
situasi itu dan sejauh mana dorongannya ada.
5.
Faktor-faktor yang melawan respon-respon
Postulat 8: Hambatan reaksi
Respon
memerlukan kerja, dan kerja menyebabakan keletihan. Keletihan pada akhirnya
akhirnya akan menghambat respon Reactive inhibition (hambatan reaktif IR)
Postulat 9: Hambatan yang
dikondisikan
Kelelahan
adalah pendorong negatif, dan karenanya tidak memberikan respons akan
menghasilkan penguatan. Tdak member respon akan menyebabkan IR menghilang,
dan dapat mengurangi dorongan kelelahan. Respon untuk tidak merespon ini
disebut Conditionet inhibition (SIR)
(hambatan yang dikondisikan)
Ketika
IR dan SIR dikurangkan
dari SER hasilnya adalah effective reaction potential (potensi
reaksi efektif SȆR)
potensi
reaksi efektif = SȆR = (SHR
x D-[ IR+ SIR])
Postulat 10: Osilasi (goncangan)
hambatan.
Menurut
Hull, ada “potensi penghambat” yang bervariasi dari satu waktu ke waktu lainnya
dan menghambat munculnya respons yang telah dipelajari. “potensi penghambat”
ini dinamakan oscillation effect (efek guncangan SOR)
Efek
guncaangan ini menjelaskan mengapa respon yang sudah dipelajari mungkin muncul
pasa satu percobaan tapi tidak muncul pada percobaan selanjutnya. Perediksi
prilaku berdasarkan nilai SȆR akan
selalu dipengaruhi oleh nilai SOR yang
fluktuatif dan akan selalu bersifat probabilistic nilai SOR
harus dikurangi dari potensi reaksi efektif (SȆR)
yang menciptakan momentary effective reaction potential (SẾR)
(potensi reaksi efektif sementara). Potensi reaksi efektif sementara=
SẾR = (SHR
x D-[ IR+ SIR])- SOR
6. Bangkitnya respon.
Postulat 11: Reaksi ambang
perangsang
Nilai
potensi reaksi efektif sementara SẾR harus
lebih tinggi sebelum respon yang terkondisikan dapat muncul dinamakn reaction
threshold (ambang reaksi SLR) oleh karna itu
respon yang telah dipelajari akan muncul hanya jika SẾR
lebih brsar daripada SLR
Postulat 12: Kemungkinan reaksi
diatas ambang perangsang.
Kemungkinan
respon timbul karna fungsi normal dari potensi reaksi efektif melampaui reaksi
ambang perangsang.
Postulat 13: Latensi STR
(keadaan diam atau berhenti)
Makin
potensi reaksi efektif melampaui reaksi ambang perangsang makin pendek latensi
respon, artinya respon makin cepat timbul.
Postulat 14: Hambatan berhenti
(ekstingsi)
Makin
besar potensi reaksi efektif, makin besar respon yang timbul tanpa perkuatan,
sebelum berhenti atau ekstingsi.
Postulat 15: Amplitudo respon
(besarnya respon)
Besarnya
dorongan dilantari atau disebabkan oleh peningkatan kekuatan potensi efektif
reaksi dalam sistem saraf otonom.
Postulat 16: Respon-respon yang bertentangan
Jika
potensi-potensi reaksi kepada dua atau lebih respon-respon yang bertentanganterjadi
dalam organisme pada waktu yang sama, maka hanya reaksi yang mempunyai potensi
reaksi yang lebih besar akan terjadi responnya. Hull mengajukan postulat-postulat tersebut dengan maksud
ingin mempelajari terbentuknya tingkah laku secara sistematis dan matematis.
C. Aplikasi Teori Behavioristik Menurut
Hull dalam Pendidikan
Aplikasi
teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal
seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar,
media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan
berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti,
tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga
belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan
pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar (Jarvis, 2012).
Teori belajar Hull adalah teori
reduksi dorongan atau reduksi stimulus dorngan. Mengenai soal spesiafibilitas
tujuan, keterlibatan kelas, dan proses belajar dari yang sederhana ke yang
kompleks, Hull sepakat dengan Thorndike. Menurutnya belajar melibatkan dorongan
yang dapat direduksi. Sulit membayangkan bagaimana reduksi dorongan primer
dapat berperan dalam belajar di kelas, tetapi, beberapa pangikut Hull
(misalnya, Janet Taylor Spence) menekankan kecemasan sebagai sebentuk dorongan
dalam proses belajar manusia. Berdasarkan penalaran ini, maka mereduksi
kecemasan murid adalah syarat yang diperlukan untuk belajar di kelas. Tetapi,
terlalu sedikit kecemasan tidak akan menimbulkan proses (karena tidak ada
dorongan yang akan direduksi), dan terlalu banyak kecemasan akan mengganggu.
Karenanya, siswa yang merasakan kecemasan ringan ada dalam posisi terbaik untuk
belajar dan karenanya lebih mudah untuk diajari.
2.2.4
Teori Watson
A. Definisi
Teori Behavioristik Menurut Watson
Watson mendefinisikan
belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon,namun stimulus dan
respon yang dimaksud harus dapat di amati (Observable) dan dapat diukur.jadi
walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang
selama proses belajar,namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang
tidak perlu diperhitungkan Karrna tidak dapat diamati atau dengan kata lain
proses yang dilakukan secara langsung pada perilaku berbahasa serta hubungan
antara stimulus dan repon pada dunia sekelilingnya.
B.
Percobaan
yang dilakukan oleh Watson
Di teori ini Watson
mengadakan percobaan tentang perasaan takut pada anak dengan menggunakan tikus
dan kelinci putih. Watson mengadaakan percobaan terhadap Albert, seorang bayi
berumur sebelas bulan. Albert adalah seorang bayi yang gembira dan tidak takut
bahkan senang bermain-main dengan tikus putih berbulu halus. Dalam eksperimennya, Watson memulai proses
pembiasaannya dengan cara memukul sebatang besi dengan sebuah palu setiap kali
Albert mendekati dan ingin memegang tikus putih itu. Akibatnya, tidak lama kemudian Albert menjadi
takut terhadap tikus putih juga kelinci putih. Bahkan terhadap semua benda
putih, termasuk jaket dan topeng Sinterklas yang berjenggot putih. Percobaan
Albert dengan tikus putih kesayangannya membuktikan betapa mudahnya membentuk
atau mengendalikan manusia.
C. Aplikasi
yang dilakukan oleh walson adalah:
1. Peserta
didik dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan
penguatan dari pendidik.
2. Menuntut peserta
didik untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam
bentuk laporan, kuis, atau tes.
3. Adanya
evaluasi yang menekankan pada respon pasif dan ketrampilan yang terdapat pada
diri siswa.
2.2.5
Teori Edwin Guthrie
A. Definisi
Teori Behavioristik Menurut Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie
yang utama adalah hukum kontiguiti yang gabungan stimulus-stimulus yang
disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh
gerakan yang sama. Guthrie juga menggunakan variable hubungan stimulus dan
respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena
gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada
respon lain yang dapat terjadi. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat
sementara, oleh karena itu dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sering
diberi berbagai macam stimulus yang berhubungan dengan respon agar hubungan
stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap.
B.
Teori
Contiguous Conditioning dari Guthrie
Menurut teori
contiguous conditioning, belajar itu adalah suatu proses perubahan yang terjadi
karena adanya syarat-syarat (conditions) yang kemudian menimbulkan reaksi
(respons). Guthrie mengemukakan bahwa tingkah laku manusia itu secara
keseluruhan dapat dipandang sebagai deretan-deretan tingkah laku yang terdiri
dari unit-unit. Unit-unit tingkah laku ini merupakan reaksi dari stimulus
sebelumnya, dan kemudian unit tersebut menjadi stimulus untuk tingkah laku yang
berikutnya. Demikianlah seterusnya sehingga membentuk deretan-deretan tingkah
laku yang terus menerus. Jadi pada proses conditioning ini terjadi asosiasi
antara unit-unit tingkah laku secara berurutan.
Guthrie menegaskan
dengan hukumnya yaitu “The Law of Association”, yang berbunyi: “A combination
of stimuli which has accompanied a movement will on its recurrence tend to be
followed by that movement” (Guthrie, 1952 :13). Secara sederhana dapat
diartikan bahwa gabungan atau kombinasi suatu kelas stimuli yang menyertai atau
mengikuti suatu gerakan tertentu, maka ada kecenderungan bahwa gerakan itu akan
diulangi lagi pada situasi/stimuli yang sama. Teori behaviorisme yang
menekankan adanya hubungan antara stimulus (S) dengan respons (R) secara umum
dapat dikatakan memiliki arti yang penting bagi siswa untuk meraih keberhasilan
belajar. Caranya, guru banyak memberikan stimulus dalam proses pembelajaran,
dan dengan cara ini siswa akan merespons secara positif apa lagi jika diikuti
dengan adanya reward yang berfungsi sebagai reinforcement (penguatan terhadap
respons yang telah ditunjukkan). Pandangan
Guthrie tentang Motivasi, Lupa, Hukuman, Niat, Transfer Training sebagai
berikut:
1.
Lupa
Menurut Guthrie, lupa
disebabkan oleh munculnya respons alternatif dalam satu pola stimulus. Setelah
pola stimulus menghasilkan respons alternatif, pola stimulus itu kemudian akan
cenderung menghasilkan respons baru. Jadi menurut Guthrie, lupa pasti
melibatkan proses belajar baru. Contohnya sebagai berikut: Seseorang yang belajar
tugas A dan kemudian belajar tugas B lalu diuji untuk tugas A. satu orang
lainnya belajar tugas A, tetapi tidak belajar tugas B, dan kemudian diuji pada
tugas A. secara umum akan ditemukan bahwa orang pertama mengingat tugas A lebih
sedikit ketimbang orang kedua. Jadi, tampak bahwa mempelajari hal baru (tugas
B) telah mencampuri retensi dari apa yang dipelajari sebelumnya (tugas A).
Pendapatnya adalah bahwa setiap kali mempelajari hal yang baru, maka proses itu
akan menghambat sesuatu yang lama. Dengan kata lain, lupa disebabkan oleh
intervensi. Tak ada intervensi, maka lupa tidak akan terjadi.
2.
Hukuman
Guthrie mengatakan
efektivitas punishment (hukuman) ditentukan oleh apa penyebab tindakan yang
dilakukan oleh organisme yang dihukum itu. Hukuman bekerja baik bukan karena
rasa sakit yang dialami oleh individu terhukum, tetapi karena hukuman mengubah
cara individu merespons stimuli tertentu. Hukuman akan efektif jika
menghasilkan respons baru terhadap stimuli yang sama. Hukuman berhasil mengubah
perilaku yang tidak diinginkan karena hukuman menimbulkan perilaku yang tidak
kompatibel dengan perilaku yang dihukum. Hukuman akan gagal jika perilaku yang
disebabkan oleh hukuman selaras dengan perilaku yang dihukum. Misalnya, seorang
guru yang melihat siswanya ramai, siswa tersebut diingatkan, jika masih tetap
ramai, guru menghukum siswa untuk menyanyi di depan kelas.
3.
Motivasi
Motivasi fisiologis
merupakan apa yang oleh Guthrie dikatakan maintaining stimuli (stimuli yang
mempertahankan) yang menjaga organisme tetap aktif sampai tujuan tercapai.
Misalnya, rasa lapar menghasilkan stimuli internal yang terus ada sampai
makanan dikonsumsi. Ketika makan diperoleh maintaining stimuli akan hilang, dan
karenanya kondisi yang menstimulasi telah berubah. Misalnya, seorang siswa yang
mendapat nilai jelek saat ulangan, guru tidak boleh memarahinya. Menurut
Guthrie, guru seharusnya memberi dorongan agar siswa tersebut lebih rajin
belajar.
4. Niat
Respons
yang dikondisikan ke maintaining stimuli dinamakan intentions
(niat). Respons tersebut dinamakan niat karena
maintaining stimuli dari dorongan biasanya berlangsung selama periode waktu
tertentu (sampai dorongan berkurang). Gambarannya, ketika seorang siswa sudah
paham dengan materi yang disampaikan oleh guru maka dia akan langsung
mengerjakan soal yang diberikan. Tetapi jika dia belum paham maka dia akan
mengacungkan tangan untuk bertanya kepada guru mengenai materi yang belum
dipahaminya. Perilaku yang dipicu oleh maintaining stimuli inilah yang tampak
purposive atau intensional (diniatkan).
5.
Transfer Training
Guthrie
dalam hal ini kurang terlalu berharap. Karena pada dasarnya seseorang akan
menunjukkan respons yang sesuai dengan stimuli jika pada kondisi yang sama.
Guthrie selalu mengatakan pada mahasiswa universitasnya, jika anda ingin
mendapat manfaat terbesar dari studi anda, anda harus berlatih dalam situasi
yang persis sama-dalam kursi yang sama-di mana anda akan diuji. Jika anda
belajar sesuatu di kamar, tidak ada jaminan pengetahuan yang diperoleh disitu
akan ditransfer ke kelas. Saran Guthrie adalah selalu mempraktikkan perilaku
yang persis sama yang akan diminta kita lakukan nanti, selain itu, kita harus
melatihnya dalam kondisi yang persis sama dengan kondisi ketika nanti kita
diuji. Gagasan mengenai pemahaman, wawasan dan pemikiran hanya sedikit, atau
tidak ada maknanya bagi Guthrie. Satu-satunya hukum belajar adalah hukum
kontiguitas, yang menyatakan bahwa ketika dua kejadian terjadi bersamaan,
keduanya akan dipelajari.
C.
Beberapa
metode dipergunakan Guthrie dalam mengubah tingkah laku, ialah:
1.
Metode Reaksi Berlawanan (Incompatible Response
Method)
Metode
ini menganggap manusia adalah suatu organisme yang selalu mereaksi kepada
stimulus-stimulus tertentu. Jika suatu reaksi terhadap stimulus tertentu telah
menjadi kebiasaan, maka cara untuk mengubahnya adalah dengan cara menghubungkan
stimulus dengan reaksi yang berlawanan dengan reaksi yang hendak dihilangkan.
Misalnya seorang murid
yang merasa ketakutan saat disuruh gurunya maju untuk mengerjakan soal di papan
tulis, untuk menghilangkan perasaan takut siswa tersebut, guru bisa menyuruh
siswa maju terus menerus tiap ada soal yang hendak dikerjakan di papan tulis.
2.
Metode
Membosankan (Exhaustion Method)
Hubungan antara
stimulus dan reaksi yang buruk itu dibiarkan saja sampai pelakunya merasa
bosan.Contoh lain, seorang siswa yang suka mengobrol dengan temannya ketika
pelajaran berlangsung, guru dapat memberi efek jera pada siswa tersebut dengan
menyuruh siswa tersebut berbicara selama 1 jam pelajaran sehingga siswa
tersebut akan bosan dan berhenti dengan sendirinya.
3.
Metode
Mengubah Lingkungan (Change of Environment Method)
Suatu metode yang
dilakukan dengan jalan memutuskan atau memisahkan hubungan antara Stimulus (S)
dan Reaksi (R) yang buruk yang akan dihilangkan, yakni dengan mengubah
stimulusnya.
Contoh,
seorang siswa yang suka ramai di belakang kelas, untuk menghentikan kebiasaan
ramai siswa tersebut, guru dapat memindahkan tempat duduknya ke baris depan.
D.
Eksperimen Guthrie-Horton
Guthrie
& Horton (19460 secara cermat mengamati sekitar 800an tindak melepaskan
diri dari kotak teka-teki yang dilakukan oleh kucing. Observasi ini dilaporkan
dalam buku berjudul Cats in a Puzzle Box. Kotak yang digunakan sama dengan
kotak yang dipakai Thorndike dalam percobaanya. Guthrie & Horton
menggunakan banyak kucing sebagai subjek percobaan, tetapi mereka melihat setiap
kucing belajar keluar dari kotak dengan cara sendiri-sendiri yang berbeda-beda.
Respon khusus yang dipelajari oleh hewan tertentu adalah respon yang dilakukan
hewan sebelum ia keluar kotak. Karena respon cenderung diulang lagi saat kucing
diletakkan di kotak di waktu yang lain, maka ini dinamakan perilaku stereotip.
Observasi
ini memperkuat pendapat Guthrie bahwa penguatan hanyalah aransemen mekanis yang
mencegah berhentinya proses belajar. Guthrie menyimpulkan bahwa setiap kejadian
yang diikuti dengan respon yang diinginkan dari hewan akan mengubah kondisi
yang menstimulasi dan oleh sebab itu mempertahankan respon di dalam kondisi
yang menstimulasi sebelumnya.
E.
Aplikasi Teori Guthrie dalam Pembelajaran
1. Guru harus dapat mengarahkan performa siswa akan menjadi apa ketika
mempelajari sesuatu. Dengan kata lain, apakah stimuli yang ada dalam buku atau
pelajaran yang menyebabkan siswa melakukan belajar.
2. Oleh karena itu, jika siswa mencatat atau membaca buku secara
sederhana mereka dapat mengingat lebih banyak informasi. Maka dalam hal ini
buku akan menjadi stimuli yang dapat digunakan sebagai perangsang untuk
menghafal pelajaran.
3. Dalam mengelola kelas, guru
dianjurkan untuk tidak memberikan perintah yang secara langsung menyebabkan
siswa menjadi tidak taat terhadap peraturan kelas. Misalnya permintaan guru
agar siswa tenang jika diikuti oleh kegaduhan dalam kelas menjadi tanda (memunculkan stimuli) bagi
munculnya perilaku distruptif.
2.2.6
Teori Skinner
A. Teori
Behavioristik Mneurut Skinner
Seperti halnya kelompok
penganut psikologi modern, Skinner mengadakan pendekatan behavioristik untuk
menerangkan tingkah laku. B.F. Skinner berkebangsaan Amerika dikenal sebagai
tokoh behavioris dengan pendekatan model instruksi langsung dan meyakini bahwa
perilaku dikontrol melalui proses operant conditioning di mana seorang dapat
mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian reinforcement yang
bijaksana dalam lingkungan.
Menurut Skinner,
hubungan antara stimulus dan respons yang terjadi melalui interaksi di dalam
lingkungan, yang kemudian akan menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah
sesederhana yang digambarkan oleh para tokoh sebelumnya. Oleh sebab itu, untuk
memahami tingkah laku seseorang secara benar perlu terlebih dahulu memahami
hubungan antara stimulus satu dengan lainnya, serta memahami respons yang mungkin
dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul sebagai akibat dari
respons tersebut. Skinner dalam teori behaviorisitk melahirkan buah
pemikirannya yang dikenal dengan istilah Teori Operant Condiitioning. Teori ini
mengungkapakan bahwa tingkah laku yang dilihatkan subyek tak semata-mata
merupakan respon terhadap stimulus tetapi juga tindakan yang disengaja. Skinner
menyatakan pendapatnya bahwa pribadi seseorang merupakan hasil dari respon
terhadap lingkungannya.
Dua macam respon tersebut adalah:
1. Respondent Response yaitu respon akibat
rangsangan tertentu. Contoh: anjing yang mengeluarkan air liurnya ketika
majikannya membawakan makanan untuknya.
2. Operant Response yaitu respon yang muncul dan semakin berkembang oleh rangsangan
tertentu. Contoh: seorang anak yang mendapatkan reward ketika menjadi juara
kelas, maka akan semakin giat belajar untuk mempertahankan bahkan menaikkan
prestasinya dengan harapan diberikan reward kembali (dengan nilai yang sama
atau lebih tinggi).
B.
Ekperimen yang di lakukan oleh skinner:
Dalam
eksperimen Skinner (Muhibbin Syah, 2003: 99), Skinner menggunakan seekor tikus
yang ditempatkan dalam sebuah peti yang kemudian terkenal dengan “Skinner Box”.
Peti sangkar ini terdiri atas dua komponen yaitu: manipulandum dan alat pemberi
reinforcement yang antara lain berupa wadah makanan. Manipulandum
adalah komponen yang dapat dimanipulasi dan gerakannya berhubungan dengan
reinforcement. Komponen ini terdiri dari tombol, batang jeruji, dan pengungkit.
(Rober, 1988). Dalam eksperimen ini,
mula-mula tikus mengeksplorasi pati sangkar dengan berlari-lari atau mencakari
dinding. Aksi ini disebut “emitted behavior” (tingkah laku yang terpancar tanpa
mempedulikan stimulus tertentu).
Sampai
pada suatu ketika secara kebetulan salah satu “emitted behavior” tersebut dapat
menekan pengungkit yang menyebabkan munculnya butir-butir makanan ke dalam
wadahnya sehingga tikus dapat mendapatkan makanan.
Butir-butir
makanan ini merupakan reinforce bagi penekanan pengungkit. Penekanan pengungkit
inilah yang disebut tingakah laku operant yang akan terus meningkat apabial
diiringi dengan reinforcement, yakni pengauatan berupa butir-butir makanan yang
muncul.
Dari
ekperimen tersebut dihasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
1.
Law
of operant conditining yaitu jika
timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku
tersebut akan meningkat.
2. Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat
melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan
perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber
(Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah
sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons
dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan
oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada
dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah
respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus
lainnya seperti dalam classical conditioning.
Sehingga
dari percobaan terebut skinner menyimpulkan bahwa unsur terpenting dalam
belajar adalah penguatan. Maksunya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui
stimulus - respons akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner mebagi
penguatan ini menjadi dua yaitu penguatan positif dan penguatan negatif. Bentuk
dari penguatan positif berupa hadiah, pujian atau
penghargaan bentuk-bentuk penguatan negatif antara lain menunda atau tidak
memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan dan menunjukan perilaku tidak
senang. Beberapa prinsip skinner antara lain:
a.
Hasil belajar
harus segera di beritahukan kepada siswa, jika salah di betulkan, jika benar di
penguat
b.
Proses belajar
harus mengiuti irama dari yang belajar
c.
Materi pelajaran
menggunakan system modul
d.
Dalam pembelajaran
di gunakan shapping
Dari semua pendukung
teori behavioristik, teori Skinner-lah
yang paling besar pengaruhnya. Program-program pembelajaran seperti Teaching
Machine, pembelajaran berprogram, modul, dan program-program pembelajaran lain yang
berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor
penguat (reinforcement), yang merupakan program-program pembelajaran yang
menerapkan teori belajar yang dikemukakan oleh Skinner.
a) Penguatan (Reinforcement)
Menurut Skinner,
untuk memperkuat perilaku atau menegaskan perilaku diperlukan suatu penguatan
(reinforcement). Ada juga jenis penguatan, yaitu penguatan positif dan
penguatan negative.
b) Penguatan positif (positive reninforcement)
didasari prinsip bahwa frekuensi dari suatu respon meningkat karena diikuti oleh suatu
stimulus yang mengandung penghargaan. Jadi, perilaku yang diharapkan akan
meningkat karena diikuti oleh stimulus menyenangkan. Contoh, peserta didik yang
selalu rajin belajar sehingga mendapat rangking satu akan diberi hadiah sepeda
oleh orang tuanya. Perilaku yang ingin diulang atau ditingkatkan adalah rajin
belajar sehingga menjadi rangking satu dan penguatan positif/stimulus
menyenangkan adalah pemberian sepeda.
c) Penguatan negatif (negative reinforcement) didasari
prinsip bahwa frekuensi dari suatu respon akan meningkat karena diikuti dengan
suatu stimulus yang tidak menyenangkan yang ingin dihilangkan. Jadi, perilaku
yang diharapkan akan meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang
tidak menyenangkan. Contoh, peserta didik sering bertanya dan guru
menghilangkan/tidak mengkritik terhadap pertanyaan yang tidak berkenan dihati
guru sehingga peserta didik akan sering bertanya. Jadi, perilaku yang ingin
diulangi atau ditingkatkan adalah sering bertanya dan stimulus yang tidak
menyenangkan yang ingin dihilangkan adalah kritikan guru sehingga peserta didik
tidak malu dan akan sering bertanya karena guru tidak mengkritik pertanyaan
yang tidak berbobot/melenceng.
d) Hukuman
Hukuman
(punishment)
yaitu suatu konsekuensi yang menurunkan peluang terjadinya suatu perilaku.
Jadi, perilaku yang tidak diharapkan akan menurun atau bahkan hilang karena
diberikan suatu stimulus yang tidak menyenangkan. Contoh, peserta didik yang
berperilaku mencontek akan diberikan sanksi, yaitu jawabannya tidak diperiksa
dan nilainya 0 (stimulus yang tidak menyenangkan/hukuman). Perilaku yang ingin
dihilangkan adalah perilaku mencontek dan jawaban tidak diperiksa serta nilai 0
(stimulus yang tidak menyenangkan atau hukuman).
Perbedaan
antara penguatan negatif dan hukuman terletak pada perilaku yang ditimbulkan.
Pada penguatan negatif, menghilangkan stimulus yang tidak menyenangkan (kritik)
untuk meningkatkan perilaku yang diharapkan (sering bertanya). Pada hukuman,
pemberian stimulus yang tidak menyenangkan nilai 0 untuk menghilangkan perilaku
yang tidak diharapkan (perilaku mencontek).
C.
Aplikasi
Teori Skinner Terhadap Pembelajaran.
Dari
penjelasan terperinci diatas tentang operant conditioning dapat diambil
kesimpulan bahwa operant conditioning merupakan teori belajar yang menjelaskan
bahwa sesuatu yang diikuti oleh konsekuensi yang menyenangkan akan cenderung
diulang-ulang. Beberapa aplikasi teori belajar Skinner dalam pembelajaran
adalah sebagai berikut:
1.
Bahan yang
dipelajari dianalisis sampai pada unit-unit secara organis.
2.
Hasil berlajar
harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan dan jika benar
diperkuat.
3.
Proses belajar harus mengikuti irama dari yang
belajar.
4. Materi pelajaran digunakan sistem modul.
5. Tes lebih ditekankan untuk kepentingan diagnostic.
6. Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri.
7. Dalam proses pembelajaran tidak dikenakan hukuman.
8. Dalam pendidikan mengutamakan mengubah lingkungan
untuk mengindari pelanggaran agar tidak menghukum.
9. Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah.
10. Hadiah diberikan kadang-kadang (jika perlu)
11. Tingkah laku yang diinginkan, dianalisis
kecil-kecil, semakin meningkat mencapai tujuan
12. Dalam pembelajaran sebaiknya digunakan shaping.
13. Mementingkan kebutuhan yang akan menimbulkan tingkah laku operan.
14. Dalam belajar mengajar menggunakan teaching machine.
BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
Menurut teori
Behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari
interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan
guru kepada pelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pelajar
terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Aliran ini menekankan pada
terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Melihat dari semua
teori yang dipaparkan dapat kita garis bawahi bahwa teori behavioristik yang
berarti kebiasaan atau tingkah laku yang berulang ulang, berarti dapat dikatakan
kebiasaan di sini dapat mempengaruhi proses belajar dan dapat juga merubah
bagaimana cara dalam menanggapi masalah yang di hadapi sehari hari layaknya
kebiasaan yang dilakukan tanpa kita sadari.
Tanpa kita sadari bahwa
teori behavioristik ini sangat sekali berpengaruh pada perilaku seseorang,
karena apabila seseorang itu mempunyai kebiasaan yang buruk atau jelek maka
hasilnya yang didapat dari proses belajar tadi maka akan buruk juga pada hasil
akhirnya nanti.